Etika tak pernah ada di dalam daftar mata pelajaran,
Pun tak ada peraturan atau undang-undang yang mengaturnya
Padahal etika harus jadi pedoman hidup manusia,
dan awalnya justru kita dapatkan dari ruang keluarga...
Dalam sebuah kejadian di lingkungan saya bekerja baru-baru ini tiba-tiba kata 'etika' menjadi sebuah trending topic. Sikap etis, dan tidak etis jadi perbincangan. "Kelakuan itu tidak etis, melanggar etika," kata saya. Tapi kemudian yang lain menyanggah, "Apa sih yang salah dari tindakan itu?" "Etika apa yang dilanggar?"
Perbedaan itulah yang menggoda saya untuk menulis catatan kecil ini, sebagai reminder kepada diri sendiri, terutama untuk bahan perenungan dalam mendidik anak-anak sebelum terlambat. Etika, mengatur perilaku manusia secara normatif. Yang mana yang sebaiknya dilakukan, dan yang mana yang tidak patut dilakukan. Dan yang saya tulis ini lebih condong ke etika yang mengatur interaksi antar manusia.
Berawal Dari Rumah
Melanggar etika pergaulan bukanlah kejahatan, bahkan kata pelanggaran pun hanya dirasakan oleh sebagian orang yang mengerti etika, yang tak mengerti, yaaa.. tak pernah tahu kalau tindakan itu telah melanggar asas kepatutan.
Masalahnya lagi, belum ada sekolah yang mengajarkan etika, terutama yang mengatur hubungan sosial antar manusia ini. Tidak ada rapor yang berisi nilai kkm yang menentukan seseorang itu mengerti etika atau tidak. Pelajaran etika pertama kali biasanya kita dapat dari rumah. Saat balita, ibu atau bapak yang biasanya mengajarkan bagaimana mengucapkan terima kasih saat kita diberi mainan, atau selesai disuapi atau bahkan usai dibersihkan setelah buang air. Mengucapkan tolong ketika kita butuh bantuan, mengambil buku yang terlalu tinggi, misalkan, atau saat minta bibi gorengin ceplok telor. Lalu kita juga diajari mengucapkan kata maaf ketika melakukan kesalahan, dan belajar berpamitan dengan dadah dan kissbye saat akan pergi, atau mengucapkan salam Assalamualaikum saat masuk ke rumah. Tentunya dengan cara berbeda di setiap keluarga.
Ajaran orang tua kita dahulu tersebut menjadi warisan penting dibawa saat kita dewasa. Bedanya ketika dewasa, tanpa bahasa verbal pun kita bisa menjadi orang yang tahu berterima kasih, mudah menyesali perbuatan jika kita bersalah, bersopan santun saat mohon bantuan, serta selalu berusaha berpamitan dengan baik.
Kata terima kasih, maaf, tolong dan berpamitan adalah etika pertama dalam hidup manusia, yang akan dibawa hingga saat kematian. Jika kelak di hari akhir kita tak sempat mengucapkan kata terima kasih (atas kebaikan), mohon maaf (atas segala salah dan khilaf), minta tolong (antarkan saya dengan doa) dan berpamitan kepada mereka yang masih hidup, keluarga lah yang pasti akan menyampaikannya... Subhanallah.
Lalu salahkah jika ada orang yang tak bisa mengucapkan terima kasih sepanjang hidupnya? Mungkin tidak salah. Atau kita punya teman atau atasan yang tak pernah bisa berkata 'tolong' di setiap perintahnya. Salahkah dia? Belum tentu salah. Jika keluarganya dulu tak mengajarkan etika berterima kasih atau minta tolong kepada orang lain, pasti dia tak pernah menyadari kalau dua kata itu penting, dan sebetulnya akan lebih memuluskan langkahnya di tengah masyarakat.
Dari rumah saya juga belajar etika soal uang. Kecurangan mendapatkan atau menggunakan uang tidak pernah ditolerir dalam keluarga. Jadi hingga saya sudah setua ini (kebetulan sejalan dengan teman2 kerja satu team), tidak pernah mau menerima (apalagi meminta) komisi dari artis, talent atau supplier yang kami ajak kerja sama. Perilaku mark up pun bukan lingkup pekerjaan kami. Biarlah orang bilang kami bodoh dalam hal ini, tapi itulah salah satu etika kerja yang kami miliki.
Pelajaran etika lain yang juga penting buat saya, tapi mungkin tidak penting buat orang lain adalah dulu ibu saya tidak pernah mau mengambil/menerima pembantu yang keluar dari rumah tetangga. Sebutuh-butuhnya kami pada pembantu, tak pernah ada keinginan kami untuk membujuk pembantu tetangga pindah ke rumah. Boro-boro membujuk, ketika pembantu tetangga itu minta kerjaan dengan alasan majikannya pelit dan cerewet, ibu bisa langsung menuntup pintu selamanya untuk dia. Yang paling penting, katanya, menjaga hubungan baik dengan tetangga mengalahkan kebutuhan kami akan kehadiran seorang pembantu. Nah, jika kejadiannya dibalik, bagaimana jika pembantu kami yang mau pindah ke tempat tetangga karena iming-iming gaji yang lebih besar? Entah bagaimana perasaan kecewa ibu --baik ke mantan pembantu maupun pada si tetangga-- kalau itu terjadi, karena memang kami tidak pernah mengalaminya. Selama saya hidup, pembantu di rumah hanya pergi karena dia menikah, punya anak yang tak bisa ditinggal, pulang karena sepuh, atau dipulangkan ke kampungnya karena ketahuan mencuri uang.
Itulah etika yang saya amati dari ibu saat masih kecil, yang ternyata bisa terus diterapkan dalam kehidupan sehari hari. Banyak lagi hal-hal lain yang kita pelajari, misalnya bagaimana bergantian berbagi tugas antar saudara atau keluarga (mengajari teamwork), bagaimana menyelesaikan pertengkaran, bagaimana menyiasati makanan yang sedikit agar bisa dibagi 5 dengan rata (ini mungkin tak dialami oleh keluarga berada), bagaimana kakak terbesar harus mengayomi adik-adiknya, dan sebagainya. Begitulah etika, pada awalnya memang dipelajari dari rumah masing-masing. Beruntunglah anak-anak yang mendapat pelajaran etika secara cuma-cuma dari ruang keluarga, dia tak perlu susah belajar saat dewasa atau harus mengalami banyak benturan terlebih dahulu di luar rumah.
Satu contoh saja, karena dulu selalu melihat ibu membayar sesuatu --entah itu uang iuran RT, uang sampah atau gaji pembantu-- memakai amplop, maka saya pun melakukan hal yang sama. Gaji sopir, gaji pembantu, THR untuk para satpam, bahkan uang koran yang hanya sebulan Rp 200.000,-, semua saya masukan dalam amplop. Jadi ketika suatu saat ada orang yang membayar honor menulis dengan lembaran uang yang dikeluarkannya dari dompet, lalu menyodorkan kepada saya di depan banyak orang seperti dia membayar tiket bioskop, terhina banget rasanya. "Ngga tahu etika ni orang," gerutu saya. Setelah itu saya tak pernah lagi mau menulis untuk dia. Padahal bagi orang tersebut, membayar honor seperti itu pasti biasa saja. "Kan yang penting saya bayar, tohk!" begitu mungkin pikirnya.
Melihat orang-orang tak mengerti etika pasti sudah sering kita alami. Orang yang membuang plastik bekas makanan dari jendela mobilnya, guru yang tanpa rasa sungkan meminta hadiah kepada murid-muridnyanya sebelum membagi rapor, dokter yang jam prakteknya tertulis pk 17.00-19.00 tapi baru datang pk 8 malam, seseorang yang menyerobot antrean tanpa rasa bersalah, juga orang yang berebut kursi dengan wanita hamil atau orang tua, serta orang yang parkir seenaknya di depan gerbang rumah orang lain.
Jika tak berurusan langsung, dan kebanyakan dari kita tak ingin mencari ribut, jarang kita menegur orang tak beretika tersebut. Paling hanya bisa mengurut dada sambil sumpah serapah dalam hati. Berbeda jika sikap tidak etis seseorang tersebut langsung mengecewakan atau menyinggung perasaan, sebagian orang yang asertif pasti menegurnya. Kalau saya, biasanya tak ingin kembali berhubungan dan punya urusan lagi dengan orang-orang seperti itu. Apalagi tak pernah ada sepotong kata 'maaf' dari mulutnya. Hmm....
Selain dari rumah, belajar etika yang mengatur interaksi antar manusia kemudian banyak kita dapatkan dari lingkungan tempat kita tumbuh. Di sekolah, di organisasi, di lingkungan pecinta alam, atau di sekelompok komunitas. Prinsipnya hampir sama: jangan menyakiti jika tak ingin disakiti. Jangan mengecewakan, jika tak siap untuk kecewa. Saat kita melakukan kesalahan, segera lah minta maaf. Tak minta maaf juga tak apa-apa sih, tapi selain feeling guilty yang akan terus terbawa, sangsi sosial pasti akan kita dapatkan. Tak diajak main, dimusuhi, diasingkan, atau dicibir dari belakang.
Mengambil pacar dari sahabat kita sendiri, patut atau tidak? Bagi sebagian orang akan bilang, "Yaaa gpp, yang penting kan sudah putus!" Tapi bagi orang lain, haram hukumnya mengambil --apa lagi menyerobot-- pacar dari sahabatnya sendiri. Kalau sudah saling cinta bagaimana? Kalau ternyata itu jodo bagaimana? Tetap ada etika yang mengaturnya. Bicaralah baik-baik! Selesaikan hubungan yang pertama, baru bina yang berikut. Persahabatan akan berantakan? Sudah pasti!
Its not just about the money
Persoalan etis/tidak etis banyak datang dari ranah tempat berkarya. Kami adalah team kreatif yang bekerja freelance di banyak tempat. Kebanyakan kami bekerja sebagai pihak ke-3. Artinya pihak ke 2 yang mengajak kami bekerja, dengan pekerjaan yang diberikan oleh pihak pertama.
Pada pelaksanaannya di lapangan seringkali kami harus berurusan langsung dengan pihak pertama. Karena dia yang punya uang, dia yang ingin dibuatkan acara dengan bentuk tertentu, atau pihak pertama itu ingin berdiskusi atau membriefing langsung kami para pekerja di lapangan.
Bukan sekali dua kali kami mendapat tawaran pekerjaan dari pihak 1 (di belakang pihak 2 yang membawa kami), tapi tak ada satu pun yang saya gubris. Kenapa? Karena begitulah menurut saya cara menjaga etika di dunia kerja. Kepercayaan menjadi modal utama.
Saya merasa tidak patut menerima kerjaan yang ditawarkan pihak pertama tanpa sepengetahuan pihak ke-2. Pun ketika kami sudah tak ada hubungan dengan pihak ke-2, berpamitan adalah sebuah tatakrama yang wajib dilakukan. Jadi buat kami, adalah tidak beretika jika kami diam-diam menerima kerjaan dari pihak pertama, dan sangat tidak mungkin jika kami yang justru meminta-minta kerjaan pada mereka. Oh no way!
Saat freelance di RCTI pun saya pernah diajak langsung oleh pihak sponsor untuk mengerjakan program yang hampir sama, namun akan tayang di tv lain. Tentunya dengan iming-iming pemasukan yang lebih besar karena saya dibayar sebagai production house bukan hanya sebagai team kreatif. Saya tolak ajakan mereka dengan halus. "Kurang etis pak mengerjakan program hampir sama begini di tv lain. Saya ngga enak sama RCTI," kata saya saat itu. Pihak sponsor itu bingung, "Lhoo kalian kan hanya freelance harusnya bisa dong mengerjakan di tv mana saja??" Its not just about the money, Pak! Lalu beliau pun pergi, dan bekerja dengan team baru membuat acara yang hampir sama di tv lain. Saya? Tak pernah sekali pun menyesali telah mengambil keputusan tersebut, meski harus kehilangan kesempatan mendapatkan job.
Masih di urusan pekerjaan, meski saya dan team memiliki hubungan yang dekat dengan para seleb atau pembawa acara, bisa bbm-an dan sms-an kapan saja, namun jika ada pekerjaan kami selalu menghormati keberadaan Manager mereka masing-masing (jika ada). Dealing honor kami lakukan dengan manager si artis, tak pernah langsung potong kompas ke si Artis dengan harapan dapat harga lebih murah. Demikian adalah salah satu etika dalam menghormati sebuah profesi.
Nah, sebuah perilaku itu disebut ber-etika atau tidak memang hanya diri sendiri yang memiliki standarnya. Kita pun tak bisa memaksakan kepada orang lain, bahwa apa yang dilakukan itu patut atau tidak. Nilai kepatutan diukur oleh hati nurani sendiri. Hanya menjadi normatif ketika banyak yang sepakat bahwa sebuah tindakan masuk kategori tidak etis.
Mungkin banyak tindakan yang menurut saya tidak etis, tidak patut, tapi buat orang lain biasa saja. Ini beberapa diantara yang saya pelajari dari ruang keluarga...
1. Tidak mengambil menerima pembantu dari tetangga sebelah. Apalagi kalau dia keluar dengan cara yang kurang baik.
2. Tidak boleh meminta uang kepada ayah untuk membeli barang, kemudian minta juga kepada ibu untuk barang yang sama, tanpa konfirmasi kepada mereka
berdua.
3. Tidak boleh membujuk Ibu untuk memberi bagian makanan yg lebih banyak dibanding porsi saudara-saudara lain, disaat mereka belum pulang sekolah.
4. Jika berbagi makanan, anak yang membagi harus mengambil bagiannya belakangan.
5. Tidak boleh mengatakan masakan tidak enak di depan bibi yang memasak/
menyuguhkan makanan. Jika tidak enak, cukup makan sedikit.
6. Menyerobot antrean di wc tanpa persetujuan para pengantre lain, karena alasan kebelet.
7. Dilarang kepo dengan tidak membaca bbm/surat/diary siapa pun, kecuali memang diperlihatkan.
8. Semarah-marahnya kita, tak boleh memukul, merusak barang, membanting pintu dan berteriak. Ngomel dan berdebat diperbolehkan, tapi tak ditolerir berkata kotor/kasar.
9. Mengecilkan volume atau mematikan tv jika ada yang sholat, mengaji, belajar, dan tidur.
10. Minta uang pada kakak, tanpa konfirmasi atau komunikasi pada kakak ipar.
11.Mengatakan kado yang diterima tak sesuai, kepada yang memberi hadiah.
12. Mengatakan warna/model baju yang dipakai, tak cocok dengan dirinya di tengah acara berlangsung.
13. Memarahi anak buah, sopir, pembantu, anak sendiri, di depan orang lain.
14. Membiasakan anak-anak berterima kasih atau memiliki rasa terima kasih kepada siapa pun di rumah (orang tua, saudara sendiri, nenek, pembantu, sopir, tetangga, dsb), di sekolah (teman-teman, guru, penjaga sekolah), dan di lingkungan tempat dia bermain.
15. Di rumah juga dibiasakan anak-anak bilang permisi jika lewat, jika ingin memindahkan channel tv sementara ada orang lain sedang duduk di depan televisi (namun tidak menonton tv), atau jika akan memakai barang yang milik bersama.
16. Anak-anak juga harus melaporkan jumlah uang yang dipakai untuk jajan, naik taksi, atau membeli buku. Jika ada sisa, boleh dipakai asal bilang terlebih dahulu.
17. Dilarang mengaku-ngaku Ide/kerjaan rumah saudara sebagai kerjaannya, jika dia ikut andil, harus tetap bilang bahwa itu hasil kerja bersama.
18. Tidak patut menjelek-jelekan saudara sendiri untuk tujuan yang buruk, misalkan menarik simpati tamu.
19. Menginformasikan jika akan pulang terlambat atau makan di luar, sehingga orang di rumah tahu dan tidak menunggu.
20. Menghormati nenek adalah contoh yang paling akurat jika ingin bagaimana anak-anak memperlakukan kita sebagai orang tua. Karena saya selalu pamit, mencium ibu mertua saat akan pergi, menanyakan mau dibelikan apa? membawakan makanan yang beliau suka, berbincang sebentar ketika datang dan kebetulan beliau belum tidur, maka begitu juga yang dilakukan anak kepada saya.
Begitulah, manusia memang tak ada yang sempurna. Etika yang dipelajari di rumah pun bisa buyar karena pengaruh lingkungan yang buruk, atau tekanan hidup yang berat. Namun sebagai orang tua, kita harus bertekad memberi teladan kepada anak-anak, agar mereka "lulus" dan bisa hidup ber-etika sepanjang usia...
Jendral Urip, Desember 2014
Inka R Perwata